Rabu, 14 Januari 2009

di pertapaan srandil dan di Busan korea



Jangan merasa bisa, tetapi bisalah merasa

Hujan diikuti dengan kabut sangat mengganggu perjalananku, mata lahirku terhambat untuk memandang sehingga langkahku harus ekstra hati-hati, hujan adalah fenomena alam, meski ada hujan buatan tapi prinsip bekerja dan berdayanya alam tetap diikuti, satu-satunya pilihan agar aku tidak beresiko menempuh perjalanan yang saat ini berbahaya bagiku, penumpangku termasuk bagi yang lain yang seiring dalam perjalanan, aku memilih menepikan kendaraan untuk ngeyup agar terhindar dari bahaya, satu pilihan yang harus diikuti.

Disaat berteduh, suasana hening yang diiringi bunyi rintik-rintik hujan membawaku ke alam lain, lelah ragaku menurunkan daya panca inderaku, indra melihat , indra mendengar, indra merasa, indra meraba dan indra-indra yang lain menjadi tak berdaya, tetapi seiring dengan lemahnya panca indera pikiranku melayang-layang, tanpa kendali aku terbawa ke suasana kegalauan, kegelisahan, kekecewaan, mengapa aku di beginikan, adakah langkah salah pernah aku lakukan? rasaku dalam hati.

Aku sudah mulai berbicara tentang aku, keakuan dan ndaku. berpusat tentang aku, yang merasa tersisihkan, yang merasa tidak diperhitungkan. Aku yang merasa terampil. aku yang merasa terlatih. aku yang merasa berpendidikan, dan aku yang merasa jujur dan tidak korupsi dan aku yang merasa tidak menyalahi orang lain serta aku yang merasa bisa. Lorong lamunan terus membawaku ke suasana ego yang makin dalam. Aku mau berontak, berontak dan berontak, tetapi anehnya perasaan dan keinginan untuk berontak tersebut tersumbat dengan hadhirnya bayang-bayang bapak dan pak de serta om ku yang sudah dalam keremangan bayangan kondur ing jaman kelanggengan, dalam keremangan bayang-bayang itu swargi berkata, he engga boleh cengeng, umurmu sudah lebih dari limapuluh tahun, apalagi yang engkau cari, kamu anak pejuang, kami-kami keluarga pejuang, aku perintis kemerdekaaan, berjuang sejak tahun 1928, bapakmu berjuang sebelum RI ini merdeka sampai awal kemerdekaan maka dia menjadi veteran, ommu berjuang mulai jepang masuk sehingga dia menjadi tentara peta, anak pejuang jangan cengeng, jangan cengeng dan jangan banyak mengeluh. Negeri ini masih lebih baik daripada masa kami-kami dulu. bersamaan dengan akhir kata-kata tersebut, ubun-ubunku terkena tetesan air talang karena hujan, tetesan tersebut menyadarkan aku dari lamunan.

Duh Gusti Allah, sesembahan hamba, serta para guru tempat kami mengaji, ampunkan hamba yang telah terlena sehingga kehilangan kesadaran dan keakuan sempat berkuasa meski sekilas. Sambil menunggu redanya hujan yang masih deras, kutata cara duduk ku, sama-sama merenung biarlah aku merenung dengan kesadaran diri, kalau aku terhambat mata lahirku maka kucoba buka mata batin, mata hati, menempuh lorong yang tadi ku tempuh, sejenak terhenti ke sebuah gerbang salah satu lapangan udara di jawa tengah. tertulis ojo rumongso biso, nanging sing bisoo rumongso

Tidak ada komentar: